Asal mula sumpit
SATU
Konon, tersebutlah
sebuah kampung bernama Saing Pete. Letak kampung itu di dataran tinggi Sele, di
pulau Kalimantan. Yang menjadi ketua kampung saat itu, adalah seorang
perempuan. Ia amat bijaksana dalam memimpin kampungnya itu, adalah seorang
perempuan. Ia amat bijaksana dalam memimpin kampungnya itu, sehingga sangat
dihormati dan disegani oleh segenap warganya. Jangankan kaum perempuan, kaum
laki-laki pun selalu taat dan patuh kepada perintahnya. Namanya Rerayu. Selain
cakap dalam memimpin kampngnya, Rerayu mempunyai tabiat penyayang binatang.
Karenanya, dirumahnya yang besar itu, terdapat kandang-kandang berbagai jenis
binatang yang dipelihara. Untunglah ia sangat pandai dalam mengatur tata letak
rumahnya. Sehingga banyak kandang-kandang binatang peliharaannya itu, tidak
mengurangi citra rumahnya.
Hampir tiap hari,
Rerayu menerima kedatangan warga kampungnya, yang menawarkan binatang untuk
melengkapi koleksi peliharaanya. Kalau kebetulan jenisnya belum ada, tentu
diterimanya dengan senang hati. Kian hari kian banyaklah koleksi binatangnya.
Semakin banyaklah deretan kandang-kandangnya, memenuhi bagian samping dan
belakang rumahnya. Sehingga tidak jarang warga kampungnya yang bergurau, bahwa
rumah ketuanya itu sangat mirip dengan kebun binatang.
Pada suatu hari,
seorang pemburu yang sering menghadiahkan, menemui Rerayu. Seperti biasa,
Rerayu menerimanya dengan ramah.
“tentunya mamanda hendak
menghadiahkan binatang lagi” kata Rerayu
“nah,sekarang ini
jenis apa yang akan mamanda hadiahkan?”
“Hari ini hamba tidak
menemukan binatang jenis yang baru” jawab si Pemburu
“Jadi yang akan hamba
hadiahkan bukanlah binatang” pemburu itu meletakkan kantongnya yang sedari tadi
dipikulnya.
Mata Rerayu menatap
kantong itu dengan penuh tanda Tanya, “Apa Gerangan isi kantong itu kalau bukan
binatang?”
“sebutir telur” jawab
si pemburu seraya membuka ikatan kantong itu, mengeluarkan isinya.
Rerayu menjadi kaget.
Matanya terbelalak keheranan. “oh,betapa besarnya telur itu? Telur binatang apa
gerangan?”
“Hamba sendiri tidak
tahu. Hamba temukan dari dalam semak-semak di dalam hutan, Cuma sebutir ini”
“mungkin telur garuda
raksasa?”
“Hamba tidak tahu.
Tadinya hamba kira isi telur itu akan sangat lezat bila dimasak. Tapi sewaktu
isteri hamba hendak memecahkannya, telur ini sangat keras. Sulit sekali
dipecahkan. Hamba pikir, sebaiknya dibawa kemari. Mungkin anda berminat untuk
menerimanya”
Rerayu menerima telur
itu, lalu diamat-amatinya dengan seksama. Besarnya hampir sama dengan kepala
manusia,s sedangkan warnanya sama seperti telur ayam. Rasa kagum terpancar dari
mata Rerayu, yang untuk pertama kali melihat telur sebesar itu.
“aku senang sekali
menerimanya, mamanda. Baiklah akan kusatukan dengan telur-telur rajawali yang
sedang dierami, siapa tahu telur ini pun dapat menetas” kata Rerayu.
Pemburu itu merasa lega
hati, lalu memohon diri untuk pulang. Namun sebelum berajak, rerayu menyerahkan
beberapa keeping mata uang.
“terimakasih” kata si
pemburu seraya menerima uang.
Matanya berkilat-kilat
ketika melihat jumlah kepingan uang yang diterimanya. Menurut pikirannya,
jumlah itu terlalu banyak.
“telur sebesar itu,
baru kali ini kulihat. Aku senang menerimanya,mamanda. Seandainya kau
menemuinya lagi, bawalah kemari. Aku akan memberi imbalan yang lebih besar
lagi”
“terima kasih. Terima
kasih banyak, ya, seandainya hamba menemukan lagi tentu akan hamba persembahkan
kepada anda”
Dengan kegembiraan
yang meluap-luap, pemburu itu tergopoh-gopoh pulang. Rasanya, hari itu ia telah
mendapat durian runtuh. Mendapat rezeki yang luar biasa. Kemudian si pemburu
menceritakan keberuntungannya itu, kepada siapa saja yang ditemuinya. Tentu
saja setiap orang yang mendengarnya jadi tertarik, ingin pula memperoleh
keberuntungan seperti itu. Maka beramai-ramailah kaum laki-laki menuju ke hutan.
Mencari telur yang aneh dan luar biasa itu.
Semak belukar dan
rumpun-rumpun diperiksa dengan cermat. Pohon-pohon yang tinggi dan besar
dipanjati. Namun telur yang aneh itu tidak ditemukan. Telur aneh itu sendiri,
telah mengundang banyak perhatian dan kepenasaran setiap orang. Sehingga
berduyun-duyunlah mereka menuju ke kediaman Rerayu, untuk melihatnya. Konon
berdatangan pula, orang-orang dari kampung tetangga. Semuanya ingin melihat dan
menghilangkan kepenasarannya. Ingin membuktikannya dengan amta kepala sendiri.
Tetapi orang-orang di
kampung Saing Pete, merasa cemas dan gelisah oleh kejadian itu. Sebab setiap
warga, sehari-harinya hanya membicarakan ihwal telur itu. Lupa kepada pekerjaan
yang mesti diselesaikan. Akibatnya, banyak sawah dan ladang terlantar. Tidak
digarap lagi.
Jangan-jangan,
ditemukannya telur yang aneh itu, adalah sebuah firasat buruk. Yang
mengisyaratkan akan adanya bencana, yang akan membuat seisi kampung menderita.
Rerayu memaklumi perasaan-perasaan orang-orang tua itu. Lalu telur itu
disembunyikan dan diberitakan telah hilang secara aneh. Dengan demikian
orang-orang yang tadinya berdatangan ingin melihatnya, menjadi surut. Bahkan
kemudian tak ada sama sekali.
DUA
Telur besar yang
diberitakan hilang dengan aneh itu, sebenarnya ditaruh dalam kandang burung rajawali.
Disatukan dengan telur telur burung rajawali yang sedang dierami. Mulanya
burung Rajawali peliharaan Rerayu seperti memprotes. Telur yang besar itu
dipatuk-patuknya, bahkan dicakarnya. Tetapi kerasnya luar biasa. Patukan dan
cakaran burung Rajawali itu tidak berbekas sedikitpun. Akhirnya burung Rajawali
itu menyerah. Dieraminya telur yang aneh itu, bersama telurnya.
Rerayu sangat
memperhatikan perkembangan telur itu. Hampir setiap hari diperiksa dan diteliti
dengan seksama. Tanpa disadari,pengamatan pada telur itu justru telah menyita
waktu yang tak sedikit. Sehingga tidak jarang, tugas-tugas Rerayu sebagai ketua
kampung agak terlalaikan.
Orang-orang tua di
kampung Saing Pete, mengetahui pasti bahwa telur itu sebenarnya tidak hilang,
tentu saja menjadi semakin cemas. Tidak mustahil, lama-lama Rerayu akan semakin
melalakan tugasnya. Akan menelantarkan segenap warga kampung, yang akibatnya
tentu sangat tak dikehendaki. Maka berdo’alah mereka, memohon kepada Yang
Mahakuasa agar Rerayu kembali seperti sedia kala. Beberapa hari kemudian,
pembantu Rerayu melaporkan bahwa telur yang besar itu telah menetas! Betapa
gembiranya Rerayu. Hampir berlari-lari ia menuju ke kandang burung Rajawali ,diikuti
oleh hampir seluruh pembantunya. Dan tersebarlah berita tentang penetasan itu,
didengar oleh segenap warga kampung.
“aneh, bukankah tempo
hari telur aneh itu telah diumumkan hilang?” Tanya seorang warga kampung.
“ya aku sendiri
bingung. Atau mungkin yang menetas itu bukan telur yang aneh itu. Tapi telur
rajawali peliharaan ketua kita?”
“aku tak tahu”
“sebaiknya kita
tanyakan, kepada sahabat kita yang menjadi pembantu sang ketua. Mungkin dia
dapat member penjelasan!”
“nah itu dia Omara,
bukankah dia salah seorang pembantu setia sang ketua? Ayo kita tanyakan
padanya!”
Omara, laki-laki
setengah umur. Ia adalah salah seorang abdi di rumah ketua kampung, pawang
beberapa jenis binatang. Saat itu baru pulang dari rumah kepala kampung,
setelah sejak pagi melaksanakan tugasnya. Orang-orang yang sedang penasaran oleh
berita tentang telah menetasnya telur aneh itu, segera menghadangnya.
Menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Omara, benarkah telur
aneh yang besar itu telah menetas?”
“kalau begitu, telur
aneh itu tidak hilang. Selama ini rupanya disembunyikan, apa sebabnya?”
“setelah menetas,
tentunya kau bisa melihat, apa gerangan isi telur itu. Jenis binatang apa,
Omara? Garudakah, atau Rajawali?”
“apakah kami
diperkenankan untuk melihatnya, Omara?”
Omara menjadi bingung
oleh banyaknya pertanyaan itu. Belum lagi yang satu dijawab, sudah ada pula
pertanyaan yang lain. Namun ia tidak ingin mengecewakan semua orang. Segera
member isyarat, agar semua orang diam.
“aku akan
menjelaskannya” kata Omara.
“tapi kuharap kalian
diam semua. Begini, telur yang besarnya luar biasa itu memang tidak hilang.
Oleh sang ketua disatukan dengan telur-telur burung rajawali yang sedang
dierami. Kalau tempo hari diberitakan hilang, itu hanyalah sebagai usaha agar
tidak selalu menjadi tontonan. Apalagi yang menonton tiada henti-hentinya,
sehingga dikuatirkan telur akan busuk. Nah dengan cara itu, ternyata telur itu
aman dierami oleh burung Rajawali. Dan tahukah kalian, apa yang terjadi”
Orang-orang
mendengarkan penjelasan Omara dengan diam, menahan rasa penasarannya yang
hampir sulit ditahan.
“apa gerangan yang
terjadi, Omara?” orang-orang bertanya dengan serentak.
“yang terjadi sungguh
diluar dugaan” jawab Omara.
“telur Rajawali itu
sendiri semuanya membusuk, tak ada yang menetas. Sedangkan telur besar yang
aneh itu justru menetas dengan lancar!”
“apakah bentuknya sama
dengan anak burung rajawali?”
“mirip sekali, tetapi
besarnyalah yang berbeda. Besarnya hampir sama dengan induk burung
Rajawali,tetapi sayapnya sangat aneh. Seperti sayap burung yang telah dewasa,
penuh bulu-bulu. Kalau kedua sayapnya membentang, ternyata lebih panjang
daripada sayap induk burung rajawali. Aneh bukan?”
Semua orang masih
merasa penasaran. Penjelasan dari Omara sama sekali kurang memuaskan. Dan
kepenasaranan itu agaknya akan hilang, seandainya telah melihat dengan mata
kepala sendiri. Dan orang-orang merasa lega hati, ketika Omara menerangkan
bahwa mereka diperbolehkan melihatnya langsung.
Warga Kampung Saing
Pete berduyun-duyun kea rah rumah ketuanya. Ingin melihat langsung anak burung
aneh yang baru menetas itu. Maka, di rumah Rerayu seolah-olah ada pesta besar.
Hampir segenap warga kampung berkumpul, meninggalkan rumahnya masing-masing.
Para petugas pun sibuk mengatur, agar orang-orang itu bisa melihat dengan
tertib. Bentuk dan rupa burung yang baru menetas itu, sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan burung rajawali dan garuda. Terutama pada bagian paruh dan
bulunya. Hanya, yang mengherankan bahkan menakjubkan adalah besarnya. Baru
ditetaskan sudah sebesar induk burung rajawali. Bagaimana nanti, bila telah
dewasa?
Orang-orang tua pun
merasa takjub. Bahkan kemudian merasa cemas dan takut, kalau-kalau burung aneh
itu kelak akan menjadi bencana. Tetapi Rerayu berjanji akan merawat dan
memeliharanya dengan baik, serta menjaganya dengan ketat. Sehingga apa yang
dicemaskan dan ditakutkan oleh orang-orang tua itu tidak akan menjadi
kenyataan.
Rerayu sangat
menyayangi burung aneh itu, diberinya nama “bulau”. Dirawat dan dijaga dengan
baik, seperti emnjaga dan merawat bayi. Makanan kesukaannya dalah daging yang
masih segar. Rerayu tidak kuatir akan kehabisan daging, sebab setiap hari
selalu ada saja pemburu yang mengantarkan daging buruan. Segenap warga kampung
pun ternyata sangat menyayangi si Bulau. Mereka dengan sukarela ikut mencarikan
makananya. Seandainya para pemburu tidak membawa hasil, beberapa orang warga
mengirimkan daging babi atau kambing dengan sukarela.
Kian hari, kian
besarlah si Bulau. Pertumbuhannya ternyata sangat pesat. Bulu-bulu ekor dan
sayapnya semakin panjang, sangat indah dipandang. Anak-anak sangat sayang pula,
sering mengerumuni si Bulau dengan membawa makanannya. Mereka mengelus-elus
bulu si Bulau, sambil memuji-mujinya. Rerayu merasa berbahagia, memiliki si
Bulau itu. Demikian halnya sebagian warga kampungnya. Namun ada juga yang
merasa cemas dan gelisah manakala memperhatikan perkembangan si Bulau itu.
Terutama orang-orang tua yang bijaksana, yang telah menyadari, bahwa segala
sesuatu di dunia ini tidak akan abadi. Ibaratnya siang yang berganti dengan
malam. Dan ibarat putaran roda, sekali diatas lalu berputar menjadi di bawah.
Begitu juga dengan si Bulau. Tidak mustahil suatu saat akan berubah sikapnya,
dari jinak dan lembut kemudian menjadi ganas.
TIGA
Dari bulan ke bulan,
tubuh si Bulau semakin besar. Semakin perkasa. Paruhnya berkilat-kilat,
melengkung seperti burung Rajawali. Bulu-bulu sayapnya semakin indah, apabila
direntang, panjang lebih dari dua depa. Karena tidak melihat sikap si Bulau
yang membahayakan, Rerayu tidak memasukkannya dalam kandang. Dibiarkannya bebas
berkeliaran. Dengan cara begitu, si Bulau tidak sulit didekati oleh siapa saja
yang ingin melihatnya. Tetapi, apa yang dicemaskan dan ditakuti oleh
orang-orang tua itu, ternyata menjadi kenyataan. Lama-lama orang kampung
menjadi bosan. Bahkan muak kepada si Bulau. Hal ini terjadi, karena si Bulau
kadang-kadang berani mencuri daging yang sedang dijemur. Malahan pada suatu
hari berani menyambar ayam peliharaan penduduk. Mulanya Rerayu segera turun
tangan. Memberi ganti rugi kepada siapa saja yang pernah dirugikan si Bulau.
Tetapi akhirnya Rerayu
sendiri manjadi pusing, oleh tingkah si Bulau yang semakin keterlaluan. Apalagi
kalau dalam sehari, Rerayu harus mengeluarkan banyak pengganti kerugian kepada
beberapa orang. Sedangkan para penyumbang daging segar pun semakin jarang
menyumbang. Mereka merasa lebih baik memasak daging segar itu, untuk dimakan
oleh anak dan keluarganya, daripada diberikan kepada si Bulau. Para pemburu pun
jarang yang datang, karena setiap perburuannya jarang membawa hasil. Sebab
binatang-binatang buruan semakin langka dan sulit diburu.
Semakin besar si
Bulau, semakin banyaklah daging segar yang harus disediakan. Sedangkan
persediaan daging semakin menipis. Selama ini si Bulau dimajakan. Makanannya
selalu disediakan dengan segera, tidak jarang jatahnya dilebihi dari biasanya.
Selalu dihabiskan, tanpa bersisa sedikit pun. Tetapi karena persediaan daging
semakin sulit, Rerayu mengurangi jatahnya sedikit demi sedikit. Dicobanya menombok
jatah yang dikurangi itu, dengan makanan lain yang bukan daging. Tetapi si
Bulau tidak pernah mau memakan makanan yang bukan kesukaannya. Apapun yang
diberikan, selain daging segar, tak pernah digubris oleh si Bulau. Hal itulah,
yang menyebabkan si Bulau bertindak nekad, demi mengganjal perutnya yang lapar.
Mencuri daging dendeng yang sedang dijemur, milik penduduk desa. Atau menyambar
ayam dan kelinci, bahkan anak babi.
Pada suatu hari,
pawing yang mengurus makanan si Bulau jatuh sakit. Rerayu segera menggantinya.
Tapi penggantinya itu tidak segesit pawang yang lama, apabila memberi makan si
Bulau. Sedangkan si Bulau tidak pernah mau menunggu, apabila perutnya sudah
lapar. Maka nekatlah si Bulau. Menyerang binatang peliharaan yang lainnya.
Beberapa ekor kelinci dan ayam kesayangan Rerayu habis dilahapnya. Rerayu telah
habis kesabarannya. Diambilnya sebuah tongkat, dihantamnya perut si Bulau
dengan keras.
“keparat!” bentak
Rerayu.
“dasar binatang, tak
dapatkah engkau bersabar barang sebentar?!”
Si Bulau menjerit,
perutnya terasa sangat sakit. Namun ia tidak berani melawan. Cepat-cepat
terbang, sebelum Rerayu memukulnya lagi.
“pergilah sejauh
mungkin, dan jangan kembali kalau engkau memang sudah tidak mau diurus!” bentak
Rerayu, meskipun sebenarnya tidak tega hati mengusirnya.
Si Bulau terbang
jauh-jauh, meninggalkan rumah kepala kampung Saing Pete. Tiba di pinggiran
kampung, bertenggerlah di atas seonggok batu basar. Nampak sangat lelah,
sedangkan perutnya yang dipukul Rerayu terasa masih sakit.
Tidak berapa lama
kemudian, rasa sakit akibat pukulan itu telah hilang. Tapi rasa laparnya telah
bangkit kembali. Maklum, kelinci dan ayam yang tadi dilahapnya tidak membuat
perutnya kenyang. Akhirnya ia terbang lagi tanpa tujuan. Untuk kembali ke rumah
Rerayu, ia sangat takut. Lagi pula, bukankah Rerayu telah mengusirnya?
Belum lama terbangnya,
ketika matanya melihat seorang gembala sedang menggembalakan kambingnya. Air
liurnya meluap, ketika melihat kambing-kambing yang sedang digembalakan itu.
Gemuk-gemuk dan sehat-sehat, dagingnya tentu sangat empuk. Si Bulau yang sedang
kelaparan itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Segera menukik, menyambar
seekor kambing. Kuku-kukunya yang tajam mencengkram tubuh kambing dengan kokoh.
Lalu membawanya terbang jauh.
Anak gembala menjadi
kaget. Untuk beberapa saat hanya terdiam, bengong. Tapi kemudian
berteriak-teriak, meminta tolong. Orang-orang kampung berdatangan, menanyakan
apa yang terjadi. Ketika si gembala menerangkannya, mereka tak bisa berbuat
apa-apa. Selain si Bulau telah terbang sangat jauh, juga takut kalau-kalau
Rerayu murka. Maklum semua orang tahu, si Bulau itu binatang kesayangan Rerayu.
Mereka hanya melaporkan kejadian itu kepada Rerayu.
Rerayu terpaksa
membeli kambing, diserahkannya kepada anak gembala, sebagai pengganti kambing
yang disambar si Bulau. Namun kejadian itu bukan hari itu saja. Besok dan
lusanya, si Bulau berani mencuri seekor sapi. Rupanya kambing atau babi tidak
membuat perutnya kenyang. Rerayu menjadi marah, kesabarannya benar-benar telah
habis. Para pengembala dan pemilik hewan peliharaan, diliputi ketakutan. Tidak
merasa tentram lagi. Apalagi ketika Rerayu tidak bersedia lagi memberikan
pengganti kerugian, karena rupanya telah semakin menipis.
“sekarang si Bulau
bukan milikku lagi!” kata Rerayu dengan suara tandas.
“sudah bukan tanggung
jawabku lagi. Silahkan dihalau, atau dihabisi saja jiwanya!”
Keputusan Rerayu itu
disambut dengan gembira. Apalagi oleh orang-orang yang pernah dirugikan oleh si
Bulau. Kemudian, hampir seisi kampung menyiapkan senjatanya. Mereka sepakat
untuk menghabisi si Bulau dengan beramai-ramai. Begitulah, pada suatu hari,
ketika si Bulau menapakkan dirinya. Segenap penduduk kampung telah bersiap
siaga. Lalu, pada saat si Bulau hendak menyambar seekor sapi, orang-orang pun
menyerbunya. Parang dan Mandau dilemparkan kea rah si Bulau. Beberapa orang ada
yang sangat berani, meloncat mendekati si Bulau, lalu membacok dan menikam
tanpa ampun.
Tetapi si Bulau sangat
lincah dan gesit. Mengelakkan diri dengan cepat, membelokan arah sambarannya
ketempat yang aman. Sehingga bacokan dan tikaman senjata, sedikit pun tidak
melukainya. Sedangkan senjata-senjata yang dilemparkan pemiliknya, tak satupun
yang berhasil menyentuh tubuhnya. Usaha untuk menghabisi hidup si Bulau sia-sia.
Orang-orang pun berputus asa, kehabisan akal.
Si Bulau telah lolos
dari maut, dan ditempat lai telah berhasil menyambar seekor sapi. Dilahapnya
dengan bernapsu, sampai tinggal tulang belulangnya saja. Apabila sudah kenyang,
si Bulau menyadari apa yang sedang terjadi. Rupanya orang-orang telah
memusuhinya, dan ternak pun semakin sulit ditemui. Esok harinya si Bulau
kembali mencari mangsa. Kali ini ia sangat berhati-hati, tidak sudi menjadi
sasaran amukan orang-orang kampung. Tetapi, sampai hari siang tak seekor ternak
pun ia temui. Rupanya semua pemilik ternak telah menyembunyikannya. Dengan
geram,terbanglah ia setinggi mungkin keatas perkampungan. Dari balik awan,
ditelitinya setiap sudut perkampungan. Tetapi, tak seekor binatang pun yang
kelihatan. Sedangkan perutnya semakin meronta-ronta, laparnya tak tertahankan
lagi. Orang-orang kampung menjadi kaget dan gempar, ketika mendengar seorang
ibu menjerit-jerit. Rupanya anak ibu tersebut, disambar si Bulau.
EMPAT
“apa yang terjadi?”
Tanya Rerayu kepada para pembantunya.
“si Bulau telah
menyambar seorang anak, dan membawanya kabur” kata seorang pembantunya yang
baru saja menghadap.
Wajah Rerayu menjadi
merah padam. “ah, mengapa orang tuanya membiarkan anak itu mendekati si Bulau?”
“anak itu tidak
mendekati si Bulau. Anak itu sedang dituntun ibunya, tiba-tiba entah darimana
datangnya, si Bulau muncul dengan sangat cepat. Membawanya kabur entah kemana”
“anak itu tidak
mendekati Bulau. Anak itu sedang dituntun ibunya, tiba-tiba entah dari mana
datangnya, si Bulau muncul dengan sangat cepat. Membawanya kabur entah kemana”
“coba kerahkan seluruh
laki-laki, cari si Bulau itu. Jangan lupa membawa senjata masing-masing!”
Rerayu memimpin
langsung kaum laki-laki warga kampungnya, mencari si Bulau yang telah bertindak
nekad itu. Untunglah ada beberapa warga yang melihat kemana si Bulau kabur.
Serentak Rerayu dan rombongannya mengejar.
Si Bulau bertengger di
atas sebatang pohon, yang sangat besar dan tinggi. Anak kecil yang disambarnya,
tampak meronta-ronta sambil menangis sejadi-jadinya. Ketika si Bulau melihat
orang-orang berkerumun di bawahnya, sama sekali tidak peduli.
“Bulau, lepaskan dan
bawa kemari anak itu! Aku akan menukarnya dengan daging yang besar sebanyak
mungkin, ayo Bulau turutilah kata-kataku!” teriak Rerayu.
Si Bulau rupanya
mendengar jelas, siapa yang berbicara dari bawah itu. Untuk sesaat tampak
menjadi bingung. Bagaimanapun juga, suara Rerayu yang bernada memohon itu cukup
membuat si Bulau terguncang. Sehingga cengkramannya kepada anak kecil menjadi sedikit
kendur. Tangis dan jerit si anak pun agak mengendur.
“ayolah Bulau,
turunlah engkau. Bawalah anak itu kemari kau akan memperoleh daging segar
kesukaanmu, seandainya anak itu sudah kau lepaskan” suara Rerayu bernada
lembut, penuh bujukan. Tetapi diam-diam memberi isyarat kepada setiap orang,
agar apabila si Bulau turun nanti, harus diserbu secara serentak.
Suara Rerayu yang
lembut itu, kembali mengguncangkan pikiran si Bulau. Keinginan untuk menurut,
bertempur hebat melawan keinginan untuk menolak. Kebaikan Rerayu yang telah
merawat sejak kecil, terbayang oleh si Bulau. Tetapi kemudian, terbayang pula,
saat Rerayu memukulnya sehingga perutnya sangat sakit. Dan terbayang pula,
ketika orang-orang menyerangnya pada saat si Bulau hendak menerkam seekor sapi.
Dan, rasa laparnya memberontak di perutnya. Si Bulau yang tadi bingung,
mendadak menjadi beringas. Cengkramannya yang tadi agak mengendur, mendadak
menjadi kencang. Sangat kencang! Sehingga si anak hanya bisa menjerit pendek
teramat keras, kemudian membisu!
“Bulau, engkau tidak
mendengar permintaanku?!” kata Rerayu dengan mata terbelalak karena geram.
Orang-orang yang
melihat nasib si anak, bergumam kaget dan ngeri. Apalagi ayah si anak, langsung
pingsan.
“serbu!” Rerayu
memberi perintah.
Orang-orang segera
melemparkan senjatanya secara beramai-ramai. Tetapi sia-sia, letak si Bulau
terlalu tinggi untuk dijangkau dengan lemparan senjata. Beberapa orang nekad,
berusaha untuk memanjati pohon. Juga sia-sia . sebab batang pohon itu amat
besar dan licin.
Lima orang laki-laki
yang dikenal sebagai jagoan kampung Saing Pete, segera maju. Dengan berbagai
usaha, mereka dapat memanjati batang pohon yang besar itu. Tetapi, sebelum
mereka sampai di dahan tempat si Bulau bertengger, si Bulau dengan tenang
melahap mangsanya dengan rakus.
Kelima jagoan kampung
Saing Pete mempercepat usahanya, agar dapat sampai sebelum terlambat. Tapi
batang pohon itu dipenuhi lumut yang tebal, sehingga licin sekali. Dibawah
pohon, Rerayu dan rombongannya diliputi ketegangan yang memuncak. Jantung
mereka berdegup lebih cepat dari biasa. Tak ada yang berbicara. Semua menatap
keatas dengan hampir tak berkedip.
Kelima jagoan itu
akhirnya sampai didahan yang dituju. Tapi terlambat. Anak kecil yang hendak
ditolongnya telah lenyap. Tak bersisa sedikitpun, menjadi pengganjal perut si
Bulau. Meskipun begitu, mereka tidak kehilangan semangatnya. Dengan geram,
dicabutnya Mandau masing-masing. Lalu meloncat kea rah si Bulau dan membacok
dengan cepat. Si Bulau sedang membersihkan paruhnya, ketika bacokan kelima
jagoan itu menghantam tubuhnya. Tapi para jagoan itu menjadi heran. Mandau
mereka yang sangat tajam itu, sedikitpun tidak melukai tubuh si Bulau. Bacokan
mereka seperti menghantam benda kenyal yang a lot, sehingga mandaunya terlepas.
Si Bulau menjerit,
lalu mengembangkan sayapnya. Dengan sayapnya ia menghantam kelima jagoan itu,
keras sekali. Dan tak seorangpun dari kelima jagoan itu dapat mengelakkannya.
Terlemparlah mereka. Jatuh meluncur diiringi jeritannya. Si Bulau lalu terbang
meninggalkan tempat itu. Rerayu memerintahkan, agar menjemput tubuh kelima
jagoan yang terlempar itu. Hanya dua orang yang tertolong, itupun dalam keadaan
terluka parah. Sedangkan yang dua lagi tewas dengan seketika, karena membentur
batu yang besar.
Bencana yang ditakutkan
orang-orang tua di iampung Saing Pete itu, ternyata telah terbukti. Wibawa
Rerayu di mata warga kampungnya, telah hilang. Namun Rerayu tidak lantas
berpangku tangan, bagaimanapun juga ia bertanggungjawab atas semua kejadian
pahit itu. Setelah berusaha melerai orang tua dan keluarga anak yang menjadi
mangsa si Bulau, Rerayu menemui orang-orang tua di kampung. Meminta petunjuk
dan saran,guna menanggulangi bencana itu.
“Si Bulau harus
dibinasakan” kata salah seorang tua
“Tapi tidak mungkin
oleh orang-orang dari kampung kita ini”
“Oleh siapa?” Tanya
Rerayu dengan tak sabar.
“kita harus meminta
bantuan kepada Nalau, pendekar perkasa dari Sio Ori. Dan Maen, pendekar dari
Liang Dhabung!”
“apa syaratnya, untuk
meminta bantuan Nalau dan Maen itu?”
“Oho! Mereka adalah
pendekar-pendekar budiman yang selalu siap menolong tanpa pamrih. Silahkan
Rerayu menghubunginya, niscaya mereka akan segera menolong kita”
Rerayu segera mengirim
utusan, untuk menemui dan meminta tolong kepada Nalau dan Maen. Benar saja,
Nalau segera bersedia menolong dengan sukarela. Ketika utusan Rerayu hendak
menuju ke Liang Dhabung untuk meminta pertolongan Maen, Nalau melarangnya
dengan bijaksana.
“Kalian tidak usah
menemui Maen” kata Nalau
“Maen sudah tua, dan
sekarang sudah menyepikan diri. Lagi pula semua ilmu dan kesaktian Maen telah
diturunkan kepadaku”
Nalau masih berusia
muda. Senjatanya hanya sebatang buluh, sepanjang satu depa dilengkapi beberapa
batang lidi. Utusan Rerayu merasa sangsi akan kemampuan Nalau. Nalau sendiri
merasakan kesangsian utusan Rerayu itu, namun tidak menjadi kecil hati.
“Berdoalah kalian
kepada yang Mahakuasa, karena atas Ridho-Nya lah aku akan menolong kalian.
Lagipula aku tidak akan sendirian menghadapi si Bulau itu” ujar Nalau
“Dengan siapa?” Tanya
utusan Rerayu
“Dengan saudaraku, si
Kilip!” Jawab Nalau
Kilip adalah saudara
dekat Nalau. Saat itu sedang bertapa. Tetapi ketika mendengar bencana yang
sedang menimpa penduduk Saing Pete, Kilip merasa terpanggil untuk menolong.
Apalagi, dalam memberikan pertolongan itu berdampingan dengan Nalau. Kilip
segera menyudahi tapanya, dan bersiap-siap mengikuti Nalau.
Usia Kilip lebih muda
dari Nalau. Senjatanya hanyalah sebilah kapak. Melihat kenyataan ini, utusan
Rerayu kembali merasa sangsi.
LIMA
Sebelum memburu si
Bulau, Nalau dan Kilip menemui Rerayu dahulu. Untuk meminta doa restunya.
Hampir semua penduduk kampung Saing Pete merasa heran dan sangsi, ketika
melihat Nalau dan Kilip. Mereka bertanya-tanya didalam hatinya
“Apa mungkin, sepasang
remaja yang tak ada keistimewaannya itu mampu membinasakan si Bulau?” Apalagi
ketika melihat senjatanya, kesangsian semua orang semakin mendalam.
Hanya Rerayu yang
tidak bersangsi sedikitpun. Ia yakin, petunjuk orang-orang tua itu tidak
keliru. Ketika Nalau dan Kilip telah berada didepannya, Rerayu segera
menegurnya dengan ramah.
“apa pun yang kalian
minta, pasti kukabulkan. Bila kalian berhasil membinasakan si Bulau itu”
“Maaf!” kata Nalau
dengan nada merendah
“kami tidak
mengharapkan apa-apa. Tetapi kami memohon agar anda dan segenap warga kampung
berdoa, memohon keridhoan-Nya”
Ucapan Nalau adalah
ucapan seorang pendekar yang berhati mulia. Semua orang yang
mendengarnya,merasa terharu. Rerayu sendiri sampai hampir menitikkan air
matanya.
“kami akan berdoa buat
kalian” ujar Rerayu
“Terimakasih. Kami
akan segera berangkat, tetapi apakan anda tahu dimana si Bulau dapat kamu
temui?”
“seorang pengintai
melaporkan, sekarang ini si Bulau ada di sebelah utara pinggiran kampung. Di
atas sebatang pohon yang besar dan sangat tinggi”
Nalau dan Kilip pun
segera memohon diri. Menuju kearah sebelah utara pinggiran kampung, dengan
diikuti pandangan semua orang. Ketika Nalau dan Kilip sampai di pinggiran
kampung, tiba-tiba orang-orang merasa cemas. Merasa sangsi. Mereka berpikir,
“jangan-jangan sepasang
remaja yang tampaknya sangat bersahaja itu, hanya akan menjadi mangsa si
Bulau!”
Nalau dan Kilip telah
sampai ke pinggiran kampung sebelah utara. Betul saja. Diatas sebatang pohon
yang besar dan tinggi, pada cabangnya yang tertinggi,tampaklah si Bulau sedang
bertengger. Karena tubuhnya yang besar, maka dari kejauhan pun sangat jelas
kelihatan.
Nalau dan Kilip saling
berpandangan, merasa takjub melihat ukuran tubuh si Bulau yang besar itu. Untuk
sesaat, mereka tertegun.
“Begitu besarnya
burung itu, oh, aku seperti sedang bermimpi.” Bisik Kilip
“Yang Mahakuasa adalah
Yang Mahabisa. Kau jangan merasa heran, saudaraku” jawab Nalau dengan suara
yang nyaris tak terdengar.
“Yah. Sayang sekali
dia menjadi sumber bencana. Seandainya tidak”
“sudahlah. Sebaiknya
ayo kita mengatur siasat, sebelum burung raksasa itu mengetahui kedatangan
kita.”
“Jangan tergesa-gesa.
Kelihatannya dia seperti sedang mengantuk, mungkin karena terlalu kenyang
melahap mangsanya”
Dari tempat
tersembunyi, mereka mengatur siasat dengan suara berbisik. Setelah menemui
kespakatan, mereka pun memeriksa arah tiupan angin. Mereka akan mendekati pohon
tempat bertenggernya si Bulau, dari arah menentang tiupan angin. Hal itu perlu
dilaksanakan, sebab kalau menuruti arah tiupan angin, tidak mustahil si Bulau
akan menciumnya.
Tidak lama kemudian,
Nalau dan Kilip berpencar kearah berlawanan. Gerakan mereka amat halus, tidak
menimbulkan suara berisik sedikitpun. Masing-masing menyelusup ke balik
belukar. Jarak mereka hanya seperlompatan, segera menyiapkan senjata
masing-masing, kemudian saling memberi isyarat, tanda siap melaksanakan siasat.
“Dooo…
dooooiiiiiii,dooooiiiiiiii!” teriak Nalau, menirukan suara binatang. Entah
binatang apa.
Si Bulau seperti kaget
mendengar suara itu. Mengangkat kepalanya dan mencari-carinya.
“Doooiiii…doiiii,
doooooiiiiii!!!” kilip membalas teriakan Nalau. Suaranya hampir tak berbeda.
Entah suara apa yang
ditirukan oleh Nalau dan Kilip. Tetapi telah membuat si Bulau, sangat tertarik.
Buktinya, Si Bulau yang sedang terkantuk-kantuk itu, mendadak menjadi beringas.
Menjerit keras sekali, seraya mengembangkan sayapnya dan meloncat. Bergerak dan
menukik, seperti terjatuh mendekati persembunyian Kilip. Setelah sangat dekat
ketempat persembunyian Kilip, saat itulah Nalau meniup senjatanya yang terbuat
dati buluh itu. Dari ujung buluh itu, melesatlah beberapa lidi yang
ujung-ujungnya telah dipolesi racun.
Si Bulau menjerit,
keras sekali. Terdengar seperti suara halilintar membelah keheningan rimba.
Rupanya dia merasa kaget dan kesakitan, ketika temboloknya telah ditancapi
beberapa potong lidi. Kemudian dadanya, dan terakhir matanya! Gerakan tubuhnya
menjadi limbung, seperti berusaha untuk melambung lagi. Sayang racun dari
lidi-lidi yang ditiupkan oleh Nalau, telah merasuk darahnya dan menjalar ke
seluruh tubuhnya. Melemahkan tenaganya. Sedangkan matanya telah menjadi buta.
Dengan tubuh bergetar, jeritannya bergema panjang sekali. Kemudian
berputar-putar tanpa keseimbangan, dan jatuh berdebum, tidak jauh dari
persembunyian Kilip.
“Kilip, cepatlah
bertindak!” teriak Nalau sambil muncul dari persembunyiannya.
Kilip tidak menunggu
lagi. Sefera meloncat, mendekati si Bulau yang sedang menggelepar-gelepar
sambil berteriak-teriak. Kapak yang digenggam Kilip menghantam leher si Bulau,
beberapa kali. Darah si Bulau berceceran ke berbagai arah, sedang jeritannya
pelan-pelan menjadi lemah. Ketika Kilip mengakhiri bacokan kapaknya, si Bulau
pun tidak bersuara lagi. Mengejang kaku, tidak berkutik lagi. Kilip memeriksa
keadaan si Bulau. Ternyata sudah tak bernyawa lagi. Lalu menoleh kea rah Nalau
yang sedang berlari mendekatinya, mengacungkan ibu jari tangannya. Nalau
membalas acungan itu, dengan ibu jari tangannya pula.
Tiba-tiba terdengar
suara sorakan yang gegap gempita, dari arah pinggiran hutan. Kilip dan Nalau
menjadi kaget. Tetapi kemudian merasa sangat lega. Ternyata orang-orang desalah
yang bersorak itu, sorak kegembiraan yang tak ada taranya. Tak disangka,
orang-orang desa itu rupanya mengintip perjuangan Nalau dan Kilip melawan si
Bulau tadi.
Dengan gembira,
orang-orang kampung Saing Pete mengangkat Nalau dan Kilip. Memanggulnya dengan
gotong royong, lalu diarak kearah kampung. Sementara beberapa orang menyeret
bangkai si Bulau untuk dibakar.
Bencana yang melanda
kampung Saing Pete telah berakhir. Semua orang merasa lega dan lapang hati.
Atas nama segenap warga kampung, Rerayu mengucapkan terimakasih kepada Nalau
dan Kilip.
“Keberhasilan kami,
semata-mata karena doa anda semua!” kata Nalau dengan nada merendahkan diri.
“apa nama senjatamu
itu?” kata Rerayu sambil memperhatikan senjata yang digenggam tangan Nalau.
“namanya SUmpit” jawab
Nalau
“Terbuat dari sepotong
buluh. Busurnya terbuat dari lidi. Cara menggunakannya cukup ditiup
keras-keras, setelah busurnya dimasukkan ke dalam buluh”
Sejak Saat itu, Rerayu
memerintahkan warga kampungnya membuat senjata sumpit itu. Dan menjadi senjata
utama, yang dimanfaatkan untuk berburu atau berperang.
Comments
Post a Comment